Persib Menderita Turbulensi dan Frustrasi?

Persib Menderita Turbulensi dan Frustrasi?
Font size:

Liga baru saja dimulai, tetapi atmosfer di kubu Persib Bandung terasa seperti turbulensi di udara. Bagi yang duduk manis di kursi penonton, rasanya seperti menonton drama tanpa naskah—semua serba tidak jelas, saling teriak tapi tak saling dengar. Dalam pertandingan resmi yang sudah dijalani, di Super League dan playoff AFC Champions League (ACL) Two, pola permainan Maung Bandung masih jauh dari kata solid. Yang muncul justru frustrasi. Frustrasi bagi pemain, pelatih, dan tentu saja bobotoh.

Kalau komunikasi adalah kunci, Persib sepertinya lupa bawa kunci itu ke lapangan. Hubungan antar lini—dari belakang ke tengah, lalu ke depan—terasa renggang. Tidak ada alur yang rapi. Tidak ada orkestrasi yang indah. Yang ada malah seperti band tanpa konduktor: masing-masing main sendiri, saling tunggu, saling salah paham.

Ketika bek menguasai bola, gelandang sering tidak siap menerima. Saat gelandang memegang kendali, striker entah berada di mana. Hasilnya? Bola mudah direbut lawan, serangan mandek di tengah jalan, dan peluang tercipta lebih karena keberuntungan ketimbang perencanaan. Dalam dua laga awal liga, pola ini terus berulang. Begitu juga di pertandingan krusial melawan wakil Filipina pada playoff ACL Two, yang seharusnya menjadi ajang pembuktian justru berubah menjadi tontonan yang bikin geleng-geleng kepala.

Kalau ini hanya masalah adaptasi, mungkin wajar. Tapi, bukankah training center di Thailand dan persiapan pramusim semestinya mengantisipasi fase seperti ini? Pertanyaan-pertanyaan ini terus terngiang di kepala bobotoh, tapi jawabannya belum terlihat.

Koneksi Brasil yang Tidak Terhubung

William Marcilio - Radar Bandung

Sejak Persib mendatangkan pemain-pemain Brasil, ada harapan besar kita akan melihat Samba Football di lapangan. Bola-bola pendek, teknik indah, kreativitas tanpa batas. Setidaknya, ekspektasi itulah yang terbangun. Tetapi tiga pertandingan berlalu, dan yang kita saksikan justru sesuatu yang jauh dari kata harmoni.

Alih-alih Brazilian connection, yang terlihat justru Brazilian not-connection. Bukannya saling paham, mereka tampak seperti saling asing. Operan tak mengalir, kombinasi tak terbentuk. Entah salah siapa, apakah Bojan gagal memberi arahan yang jelas, atau pemain yang tidak punya waktu cukup untuk beradaptasi. Yang jelas, ini problem besar.

Dan di tengah semua itu, ada sosok William Marcilio. Pemain yang datang dengan ekspektasi tinggi, skill-full, dan kode-kode indah saat akan bergabung dengan Persib. Tetapi apa yang terjadi? Tiga laga pertama justru menunjukkan wajah berbeda: underperform, minim kontribusi, dan bahkan terkesan kehilangan arah. Ada yang menyebut dia kena star syndrome—terlalu sibuk dengan bayangannya sendiri, bayangan Maung lebih tepatnya.

Entahlah. Yang pasti, dia belum menunjukkan tanda-tanda sebagai pembeda. Malah saat Marcilio ditarik keluar, permainan lebih mengalir dari tengah ke depan, dan gol terjadi seperti lawan Semen Padang, Manilla Digger dan Persijap Jepara, sebuah kebetulan atau memang skema dengan adanya Marcilio tidak berjalan efektif? Silakan dicermati.

Setelah kekalahan melawan Persijap, rasa frustrasi rasanya bukan hanya milik bobotoh yang rela datang jauh-jauh ke Jepara menyaksikan laga tandang. Frustrasi ini juga tampak di lapangan. Pemain terlihat kebingungan, gestur tubuh sering menunjukkan rasa tak puas. Ketika serangan gagal, mereka saling menoleh dengan wajah kecewa. Ini alarm bahaya: ketika mental goyah, chemistry tak akan terbentuk, pekerjaan rumah besar menanti Bojan Hodak dan tim pelatih.

Pelatih pun berada di persimpangan jalan. Mengandalkan nama besar saja tidak cukup. Menunggu waktu? Liga berjalan cepat, dan Persib tidak punya banyak waktu untuk terlambat panas, apalagi mulai Oktober, Persib juga akan mejalani pertandingan fase grup ACL Two, dimana lawan memiliki kualitas di atas klub-klub di Indonesia, kalau masalah chemistry ini belum selesai, mungkin lawan di ACL Two akan menyelesaikan Persib lebih cepat di fase grup. Setiap poin yang hilang bisa jadi kehilangan gelar dan posisi Asia di akhir musim.

Haruskah Bobotoh Turunkan Ekspektasi?

bobotoh-persib-gbla-Jabar Express

Di titik ini, pertanyaan besar muncul: apakah bobotoh harus menurunkan ekspektasi? Apakah musim ini hanyalah masa transisi, sekadar pemanasan sebelum mesin benar-benar panas di musim berikutnya? Pertanyaan ini menyakitkan, tapi realistis.

Persib memang dihuni wajah-wajah baru. Adaptasi jelas butuh waktu. Tetapi klub sekelas Persib selalu berada dalam tekanan untuk menang. Selama ini tidak ada istilah proyek jangka panjang di mata bobotoh yang lapar prestasi. Apalagi, kompetisi musim ini tidak memberi ruang terlalu luas bagi tim yang terlambat bangkit. Tapi sepertinya musim ini kita harus rela melihat Persib mengalami turbulensi hebat.

Jika masalah komunikasi dan chemistry ini tidak segera diatasi, Persib akan terus terjebak dalam turbulensi. Kalau dibiarkan terlalu lama, bisa menjatuhkan pesawat.

Tidak ada solusi instan, tetapi ada langkah cepat yang bisa dilakukan. Pertama, Bojan harus menetapkan skema permainan yang sederhana tapi efektif. Jangan memaksakan skema kompleks kalau pemain belum siap. Kedua, perbaiki komunikasi. Ini mungkin klise, tapi sepak bola adalah permainan kolektif. Tanpa komunikasi, strategi hanyalah gambar di papan tulis.

Ketiga, tegaskan peran masing-masing pemain, terutama trio Brasil. Mereka direkrut bukan untuk jalan-jalan di Braga ataupun Dago, tapi untuk jadi motor penggerak. Kalau memang Marcilio, Berguinho, dan Uilliam Baros belum siap mental, jangan ragu untuk mencadangkannya sementara. Nama besar tidak boleh jadi beban tim. Tak terkecuali untuk Thom Haye, Eliano Reijnders, dan Federico Barba, yang baru saja didatangkan dari Eropa.

Dan yang terakhir, Persib harus segera menemukan identitasnya kembali. Apakah ini tim yang bermain menunggu? Tim yang dominan dengan penguasaan bola? Atau tim yang mengandalkan kecepatan serangan balik? Tanpa identitas yang jelas, Persib hanya akan jadi tim besar dengan permainan kecil.

Sepak bola selalu memberi ruang untuk berharap. Bobotoh adalah saksi setia bahwa badai pasti berlalu, hujan ge aya raatna. Tapi harapan bukan berarti buta. Kritik harus dilontarkan, bukan untuk menjatuhkan, tetapi agar semua sadar bahwa Persib bukan tim kemarin sore.

Musim ini mungkin terasa berat, penuh frustasi. Tapi siapa tahu, dari turbulensi inilah lahir kesolidan baru. Siapa tahu, setelah hujan yang panjang, pelangi akan muncul di atas langit Bandung. Dan ketika hari itu tiba, semua rasa kecewa akan terbayar lunas. Sampai saat itu datang, mari kita nikmati drama di musim ini—meski sambil menghela napas panjang.

Ditulis oleh @edwinardibrata 

 

Penulis aktif di channel Youtube Obrolan Medioker

Cahya Supriadi: Masa Depan Gawang Indonesia
Artikel sebelumnya Cahya Supriadi: Masa Depan Gawang Indonesia
Artikel selanjutnya
Artikel Terkait